Bawang Dayak, Fakta Farmakologi Yang Terungkap - Bawang dayak Eleutherine palmifolia (L.) Merr. merupakan tumbuhan asli Amerika Selatan yang dijumpai tumbuh pula di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Sejak lama bawang dayak–sebutan di Palangkaraya dan Samarinda–dimanfaatkan penduduk lokal sebagai obat aneka penyakit, antara lain sembelit, disuria, radang usus, disentri, luka, bisul, muntah, hingga penyakit kuning. Bukan hanya itu, beberapa penyakit berat seperti kanker payudara, diabetes mellitus, hipertensi, dan kolesterol, bisa teratasi dengan rajin mengonsumsi bawang dayak.
Cara mengonsumsinya mudah, bisa meminum air rebusan umbi atau langsung memakan umbinya.
Selain bisa membantu mengobati penyakit ringan hingga berat, bawang siyem (sebutan di Jawa Barat) memiliki kemampuan lain sebagai antimelanogenesis dan antioksidan. Hasil skrining fitokimia terungkap bawang dayak yang berguna sebagai antimelanogenesis (mencegah timbulnya bintik atau titik-titik hitam di kulit) dan antioksidan (menangkal radikal bebas) tersebut mengandung senyawa golongan alkaloid, flavonoid, steroid (triterpenoid), glikosida, glikosida antrakinon, dan saponin.
Nah, senyawa flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang mampu mengobati gangguan hati, menghambat pendarahan, antihipertensi, antivirus, antiinflamasi, dan bersifat sitotoksik. Alasan itu menyiratkan fakta penting secara farmakologi, yakni bila tumbuhan terbukti mengandung senyawa flavonoid, ia berpeluang besar menjadi obat tradisional.
Sosok bawang dayak mirip bawang merah. Umbi brambang sabrang (sebutan di Jawa) berbentuk bulat telur memanjang, berwarna merah, tidak berbau serta berasa pahit. Umbi tersebut berlapis, terdiri dari 5-6 lapisan dengan panjang umbi 4-5 cm dan diameter 1-3 cm. Hasil mikroskopik serbuk simplisia umbi bawang merah hutan (penyebutan di buletin Flora Malesiana) dijumpai terdapat kristal Ca-oksalat, parenkim, xylem dengan penebalan dinding sel berupa tangga (skalariform) dan butir amilum.